Rabu, 23 Juli 2008

MEMBANGKITKAN KEMBALI BANGSA DENGAN JIWA BESAR BUNG KARNO
Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (10) Sekedar sumbangan dalam menyongsong Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei (2001)
Ada satu hal yang sudah selama puluhan tahun tidak menjadi pemikiran banyak orang, yaitu gejala bahwa Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei sudah tidak lagi diperingati secara khidmat atau selayaknya sebagai peristiwa yang penting dalam sejarah bangsa. Bagi mereka yang masih ingat kepada masa di bawah kepemimpinan Bung Karno, maka terasa sekalilah betapa besar bedanya antara peringatan Hari Kebangkitan Nasional sebelum 1965 dengan yang diselenggarakan selama Orde Baru. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan sampai 1965 selalu sarat dengan dikobarkannya semangat untuk menghormati jasa-jasa para perintis kemerdekaan, semangat untuk mempersatukan bangsa, semangat untuk bersama-sama meneruskan revolusi menuju masyarakat adil dan makmur. “Api” kebangkitan bangsa ini terasa menyala-nyala dalam kesempatan semacam itu.
Sayang sekali, bahwa justru “api” inilah yang selama Orde Baru menjadi terasa pudar, redup atau “loyo”. Maka, adalah menarik (dan penting) bagi kita semua untuk merenungkan mengapa timbul gejala-gejala semacam itu. Memang, selama Orde Baru ada juga berbagai peristiwa bersejarah (antara lain : Hari Pahlawan 10 November, peringatan 17 Agustus, hari Sumpah Pemuda, hari lahirnya Pancasila, Hari Kartini dll) yang diperingati. Namun, apakah peringatan-peringatan itu bisa menyentuh jiwa banyak orang sebagai pendidikan moral dan politik? Dan, apakah peringatan-peringatan itu diselenggarakan oleh orang-orang yang betul-betul menghayati pentingnya peristiwa-peristiwa bersejarah itu ? Atau, apakah peristiwa itu diadakan sekadar sebagai upacara ritual yang “mengambang”, yang tidak berbobot, yang dangkal, dan yang sama sekali tidak berisi pesan-pesan yang berarti?
Semua soal tersebut di atas patut kita telaah. Barangkali, para pakar ilmu sejarah, pakar ilmu politik, dan pakar lainnya, dapat memberikan sumbangan untuk meneliti mengapa selama 32 tahun Orde Baru masalah-masalah sejarah perjuangan bangsa, masalah revolusi 45, masalah pendidikan moral dan pendidikan politik terasa sebagai terabaikan atau terbelakang sekali.
BUNG KARNO ADALAH DILEMMA BAGI ORDE BARU
Kalau kita telusuri dengan cermat, maka akan nyatalah bahwa masa Orde Baru yang puluhan tahun adalah periode panjang yang “mandul” dalam hal pendidikan moral bangsa, “gersang” dalam hal pendidikan politik bangsa, atau “steril” dalam hal pendidikan tentang pengabdian kepada kepentingan rakyat. Dengan dalih mengutamakan pembangunan, maka pendidikan politik telah digencet selama puluhan tahun. Kasarnya, Orde Baru adalah suatu sitem politik yang takut kepada kesadaran politik rakyat. Yang pernah dilakukan oleh Orde Baru adalah indoktrinasi politik secara otoriter dan juga salah arah, yang justru mematikan kehidupan politik yang demokratis atau kerakyatan.
Dari sudut inilah kita bisa mengerti mengapa selama puluhan tahun Orde Baru telah berusaha menghilangkan peran Bung Karno dari sejarah bangsa. Dan di sini pulalah letak dilemma yang dihadapi oleh Orde Baru. Sebab, seandainya tokoh-tokoh Orde Baru mau berbicara tentang sejarah (yang benar) tentang perjuangan bangsa, maka terpaksalah mereka juga berbicara tentang peran dan ketokohan Bung Karno. Sedangkan, bagi Orde Baru, berbicara tentang ketokohan Bung Karno (yang sebenarnya!) adalah merugikan. Sebab, Bung Karno adalah musuh Orde Baru. Sejarah (yang sebenarnya) tentang latar belakang penggulingan kekuasaan Bung Karno oleh para pendiri Orde Baru/GOLKAR adalah sesuatu yang tidak bisa dibangga-banggakan oleh mereka, bahkan telah ditutup-tutupi, atau diputar-balikkan (tentang soal ini ada catatan tersendiri).
Oleh karena itu, seperti yang kita saksikan selama puluhan tahun, Orde Baru telah menempuh berbagai cara untuk “memperkecil” peran dan ketokohan Bung Karno dalam sejarah perjuangan bangsa, atau “merusak”-nya sama sekali. Antara lain dengan menyebarkan isyu tentang keterlibatannya dalam G30S, atau mengecam kedekatannya dengan PKI. Orde Baru juga menciptakan suasana sehingga para pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat tidak berbicara atau menyinggung nama Bung Karno dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat publik. Karena itu, selama puluhan tahun, banyak orang yang takut atau segan, atau tidak mau menyinggung nama Bung Karno, ketika mereka berbicara tentang sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda atau ketika bicara tentang revolusi 45.
Sekadar sebagai contoh : adalah suatu hal yang menarik, kalau di kemudian hari bisa diadakan penelitian tentang pidato-pidato Suharto selama 30 tahun menjabat sebagai presiden. Berapa kalikah selama itu ia pernah bicara tentang sejarah kebangkitan nasional, tentang perjuangan menentang imperialisme dan kolonialisme, tentang peran sejarah Bung Karno, tentang revolusi 45, tentang lahirnya Pancasila?
BUNG KARNO ADALAH PROMOTOR KEBANGKITAN BANGSA
Dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, mau tidak mau kita harus mengingat kembali perjalanan sejarah bangsa kita, yang dimulai dengan lahirnya gerakan nasionalis pertama Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, hampir seratus tahun yang lalu. Pergerakan nasional ini dipimpin oleh Dokter Soetomo di Jakarta. Dengan dorongan dilahirkannya Boedi Oetomo ini, kemudian lahirlah di Surabaya dalam tahun 1912 Sarekat Islam di bawah pimpinan Haji O.S. Tjokroaminoto bersama Haji Agus Salim dan Abdul Muis. Sarekat Islam kemudian pecah menjadi SI merah dan SI putih. Dalam tahun 1912 itu lahir pula satu gerakan politik yang amat penting, yaitu Indische Partij yang dimpimpin oleh Douwes Dekker (Dr. Setiabudhi), R.M. Suwardi Suryaningrat dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Tahun 1913, partai ini dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemimpin-pemimpinnya ditangkapi dan kemudian dibuang dalam pengasingan.
Sebagai buntut perkembangan ini, maka pada tahun 1914 lahir di Semarang satu organisasi berfaham kiri (komunis), yaitu Indische Sociaal Demokratische Vereeniging (ISDV) di bawah pimpinan Sneevliet dan Semaun. Dalam tahun 1920 (23 Mei) ISDV ini telah berobah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan pimpinan Semaun juga. Dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda, PKI telah mencetuskan pembrontakan di Banten, Jakarta dan Yogyakarta dalam tahun 1926, dan kemudian juga di Sumatera Barat dalam tahun 1927. Setelah pembrontakan itu ditindas oleh pemerintahan kolonial Belanda, maka ribuan pimpinan dan anggota PKI ditangkapi, dan kemudian dibuang dalam pengasingan di Tanah Merah (Digul).

Tidak ada komentar: