Sabtu, 26 Juli 2008

Makna Hari Kebangkitan Nasional

100 tahun lalu tepatnya 20 Mei 1908 berdiri sebuah organisasi yang dinamakan Boedi Oetomo. Moment ini dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dimana timbul kesadaran tentang kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda dari beberapa pemuda terbaik bangsa. Pemuda ini diantaranya adalah Dr. Soetomo, Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan Dr. Goenawan dan Suryadi Suryadiningrat (Ki Hadjar Dewantara).
Hari Kebangkitan Nasional menjadi moment awalnya kemerdekaan Indonesia, jadi harus kita maknai dan sikapi dengan serius. Kalau dulu sewaktu masih sekolah, pasti saya ikut upacara. Kalau sekarang? saya tidak berbuat apa-apa, saya hanya bisa mendoakan semoga moment tersebut bisa menyadarkan para pemimpin untuk lebih serius menangani negara ini. Hormati para pahlawan dengan tidak korupsi, menguras kekayaan negara untuk pribadi. Jelas di usia yang 100tahun (walau 63tahun merdeka) pada hakekatnya Indonesia masih belum bangkit, masih terpuruk dan tertinggal dari negara yang lebih muda usianya.
Mari di 100tahun Kebangkitan Nasional kita berbuat yang lebih baik dan bijaksana. Siswa ga usah tawuran dan belajar dengan baik, pejabat dan pemimpin jangan korupsi, blogger mari kita berikan posting yang bermanfaat untuk bangsa, pencari dollar supaya lebih giat lagi mencangkul dan menambah devisa negara. Merdeka!!!!
Makna Kemerdekaan Indonesia Raya
Upacara Bendera 17 Agustus, berkumandangnya lagu Indonesia Raya, detik-detik Proklamasi, gelora salam Merdeka, derap langkah nasionalisme, renungan jasa para pahlawan, tabur bunga di makam pahlawan, berkobarnya semangat persatuan, panjat pinang, lomba makan kerupuk, dangdutan, perlombaan olah raga, serta berbagai kegiatan mengisi hari kemerdekaan, dan...dst...dst.Seharian saya berkeliling Ibukota Jakarta memperhatikan perilaku berbagai kalangan masyarakat dalam memperingati hari kemerdekaan RI ke 62 ini. Semangat itu masih terasa, gelora untuk memajukan Indonesia Raya masih ada, kepedihan menahan beban ekonomi sedikit dilupakan untuk meramaikan Pesta Kemerdekaan Indonesia dalam kesederhanaan. Rasa malu sebagai akibat dari arah Indonesia yang tidak jelas sedikit terlupakan manakala menyanyikan lagu Indonesia Raya. Teringat perasaan senasib ketika bangsa Indonesia berjuang mencapai kemerdekaannya.Teringat persahabatan sejati kebangsaan Indonesia mengusir penjajah yang telah merampok kekayaan Indonesia.Teringat luka...kematian...tangisan...teriakan...tatapan harapan. Semua dilalui dengan keberanian dan mimpi untuk membangun bangsa Indonesia yang bersatu dalam payung NKRI yang bersama-sama memakmurkan rakyat.Mengapa sekarang kita menjadi penakut, menjadi pengecut, menjadi ragu-ragu, menjadi saling mencurangi, menjadi saling mencakar, menjadi saling curiga.Mengapa kekuasaan menjadi rebutan, sementara tanggung jawab mengemban amanat penderitaan rakyat cenderung diabaikan. Kesombongan intelektual liberalisme menguasai sistem ekonomi yang kita pilih sekarang, akibatnya ekonomi liberal yang liar mencabik-cabik kekayaan bangsa yang terbagi-bagi hanya di kalangan elit. Pemerintah hanya menjadi penagih pajak yang tunduk pada kekuasaan yang telah dikuasai elit politik dan penguasaha. Korupsi belum juga menunjukkan penurunan yang berarti, ketidakseimbangan dimana-mana, semangat separatisme masih bergelaora seiring dengan antisipasi otonomi daerah yang miskin persiapan.Apa sesungguhnya yang terjadi dengan negeri Indonesia yang semakin sering dilanda bencana, baik bencana alamiah maupun yang dirancang oleh tangan-tangan jahat penghianat bangsa.Tidak seluruh kengerian dan mimpi buruk yang Blog I-I sampaikan merupakan akibat dari kepemimpinan nasional, tetapi juga menjadi nyata karena kita semakin egois, saling mendendam, masa bodoh, dan yang paling parah adalah pengecut, lebih parah lagi pengecut karena takut jatuh martabat, takut jatuh miskin, takut jatuh dari kekuasaan.Akibatnya sebuah dosa besar bernama korupsi menjadi budaya, sementara sinergi kekuasaan dengan swasta kembali melahirkan jaring kolusi yang sangat erat. Meskipun rakyat mati terbenam lumpur, tidak akan lahir kepedulian sejati dalam ketulusan menolong sesama manusia Indonesia. Apa yang terjadi adalah...ini perusahaanku, hartaku...ini negaraku, akulah pemimpin yang berpengaruh, mulai dari tingkatan manapun, bila ego kejahatan AKUnya itu tetap besar, kita akan terus menyaksikan kerusakan demi kerusakan.Makna kemerdekaan tidaklah hanya bersifat individual tetapi merupakan cerminan kondisi bangsa yang terdiri dari berbagai komponen. Bila kita hanya memikirkan diri sendiri, niscaya bagi mereka yang mapan dan memiliki kekuasaan dan akses yang luas...sungguh hidupnya sangat amat merdeka. Tetapi bagi mereka yang nasibnya tergantung pada orang lain, perasaan terjajah itu justru semakin dalam apabila orang-orang yang memiliki pengaruh dalam hajat hidup orang banyak tidak mampu, pengecut, atau bahkan tidak paham bagaimana mengelola sumber-sumber kehidupan orang banyak secara adil.Makna kemerdekaan adalah awal terwujudnya mimpi membangun bersama NKRI untuk kesejahteraan rakyat. Menjaga keamanan seluruh warga dalam lindungan sistem hukum yang adil dan kokoh. Bukan personifikasi kekuasaan individual ke dalam sistem seperti terjadi di wilayah Yudikatif dan eksekutif, atau rancangan sikut-menyikut di legislatif. Diperlukan keinsyafan massal tentang pentingnya kesadaran bersama dalam mengelola seluruh potensi bangsa.Makna kemerdekaan dalam kerangka demokrasi masih bisa menerima segala hiruk pikuk persaingan para elit untuk menjadi pengelola negara, namun semua itu dalam kepatuhan terhadap aturan main. Yang lebih penting lagi adalah keseriusan serta keberanian dalam menempuh jalan pembangunan yang akan berdampak luas dan positif bagi bangsa Indonesia. Segala perdebatan harus bisa dilaksanakan dalam semangat persatuan dan pada saatnya harus berhenti, para pihak harus mengerti dan mampu menerima secara legowo. Meskipun dendam dan sakit hati itu adalah sifat manusiawi, namun bila kebenaran sedang membimbing Indonesia Raya, kita patut mendukungnya. Sebaliknya bila kegelapan sedang berkuasa kita juga wajib menempuh langkah nyata untuk meneranginya
HM Soeharto Tokoh Setara dengan Bung Karno

Mantan Presiden Soeharto dinilai sebagai tokoh yang setara dengan bapak bangsa, Soekarno. Keduanya meraih prestasi mengagumkan sejak muda, dan jatuh dari posisi politiknya dengan cara menyakitkan.
Hal tersebut mengemuka dalam peluncuran buku Soeharto, The Life and Legacy of Indonesian's Second President karangan Retnowati Abdulgani-Knapp, di Jakarta, Rabu (25/4).
Hadir sebagai pembicara, mantan Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja Siswono Yudo Husodo, Retnowati, mantan Ketua umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif, mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, dan Pemred Harian Kompas Suryopratomo.
Turut hadir beberapa tokoh nasional seperti pengusaha Bob Hasan, mantan Kepala Bulog dan pengusaha Bustanil Arifin, budayawan Rosihan Anwar, serta Menneg PP Meuthia Hatta-Swasono.
Menurut Siswono, kemiripan Soeharto dan Soekarno sebagai dua sosok pemimpin yang hebat bisa dilihat dari jejak kepemimpinan dan kejatuhannya. Sejak usia 30 tahun, Soekarno menyampaikan pidato fenomenal Indonesia Menggugat. Di usia 44 tahun, bersama Bung Hatta, Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sedang Soeharto, kata Siswono, memimpin aksi militer pertempuran enam jam di Yogyakarta tahun 1949. Di usia 43, kata Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia itu, Soeharto menjadi panglima operasi Mandala Siaga merebut Irian barat dari Belanda. Di usia 42, dia menumpas pemberontakan PKI 1965 dan kemudian menjadi presiden dua tahun kemudian.
Jejak kejatuhan keduanya juga tak berbeda. Menurut Siswono, Soekarno jatuh karena terlalu memberi angin pada PKI. Sedang Soeharto terlalu memberi peluang pada Konglomerat yang kemudian menipunya melalui sebuah konspirasi dan berakhir pada melorotnya ekonomi Indonesia.
"Salah satu tolak ukur keberhasilan pemimpin menyiapkan estafet kepemimpinan secara harmonis dan damai. Hal itu juga tak dipunyai Pak Harto dan juga tak dipunyai Bung Karno. Mereka berdua naik dengan dukungan rakyat, namun diturunkan dengan cara khusus," jelas Siswono.
Hal senada disampaikan Rosihan Anwar. Kepada Media Indonesia, wartawan senior ini mengatakan kedua tokoh tersebut telah melakukan banyak hal dan telah menjadi pemimpin besar untuk bangsa Indonesia.
"Kalau mau membedakan atau membandingkan keduanya, saya katakan Soekarno sebagai a great nation builder, dan Soeharto sebagai a great national builder," tandas Rosihan.
Buku Soeharto, The Life and Legacy of Indonesian's Second President merupakan otobiografi yang ditulis Retnowati berdasarkan hasil pertemuan pribadinya dengan Soeharto. Buku setebal 351 halaman tersebut berisi lima bab.
Bab pertama berisi mimpi-mimpi Soeharto sejak kecil di kampung halamnnya, Kemusuk Yogykarta. Bab kedua menceritakan perjalanan karir militer Soeharto. Bab tiga menceritakan pengalaman Soeharto mengurus Indonesia saat menjadi presiden.
Bab Empat mengisahkan yayasan-yayasan yang dibentuk Soeharto. Ini yang kemudian menjadi batu sandungan, dan berbuah tuntutan hukum setelah Pak Harto tak lagi menjabat presiden.
Termasuk perasaan Soeharto dikhianati orang-orang skelilingnya yang meninggalkannya sesudah dia tak lagi berkuasa. Nama mantan presiden Habibie disebut-sebut menjadi salah satu yang tak mau ditemui Soeharto hingga saat ini.
Sedang bab terakhir merupakan refleksi penulis atas jalan hidup Soeharto
Saat berbicara dalam acara peluncuran buku, Retnowati menekankan kemiripan hidup Soeharto dan Soekarno. Menurutnya, kedua tokoh tersebut dilahirkan dalam tingkat intelejensi dan keingintahuan tinggi yang tumbuh secara natural. Soekarno dan Soeharto, menurutnya, tokoh yang tampan secara fisik dengan kehidupan melegenda.
"Keduanya juga memakai cara pragmatis untuk mencapai tujuan politik," kata Retnowati.
Tragisnya, lanjut Retno, dua mantan presiden yang paling lama memegang tampuk kekuasaan itu, sama-sama harus menanggung pengkhianatan orang-orang terdekatnya saat kekuasaannya berakhir.
"Saat ini Soeharto sangat dikucilkan dari orang yang dulunya memuja. Hanya karena jati dirinya yang kuat yang membuat mereka masih kelihatan tersenyum," tandas Retno.
Tentang hubungan yang memburuk antara Soeharto dan Habibie di masa tua, Azyumardi Azra menilai kisah tersebut justru menunjukkan perbedaan buku karangan Retno dengan buku sebelumnya tentang Soeharto. Kata dia memang setelah kejatuhan Soehartp, banyak temannya yang loncat meninggalkan dia.
"Sebagai seorang manusia, tentu saja itu mengecewakan Pak Harto. Walaupun ada upaya rekonsiliasi dari Habibie, lagi-lagi sebagai manusia, Pak Harto belum bisa memaafkan," ujarnya.
Sementara Syafii Maarfi justru melihat fenomena tersebut sebagai sebuah ironi yang parah betapa mahalnya sebuah harga maaf bagi masyarakat Indonesia. Gejala tersebut, kata Syafii, merupakan gejala umum elit pimpinan Indonesia yang kembali terulang dalam hubungan mantan presiden Megawati dan presiden SBY.
"Saya dengar sampai hari ini hubungan mereka tetap beku. Saya tak tahu dimana letak pokok pangkalnya, mengapa elit bangsa ini tak mampu mengembangkan kultur maaf antara satu sama lain," kata Syafii.
Tentang Bung Karno
Dan Soeharto


Dalam memperingati HUT Kemerdekaan (17 Agustus) yang ke-62, kiranya banyak sekali soal-soal serius atau masalah-masalah besar yang patut kita renungkan bersama. Sebab, selama 62 tahun, rakyat dan negara kita telah mengalami banyak sekali peristiwa besar dan berbagai situasi penting - yang positif maupun negatif - yang akan tercatat selamanya dalam sejarah bangsa.

Perlulah kiranya terlebih dulu diingat oleh kita semua bahwa selama umur Republik Indonesia yang 62 tahun itu separonya – presisnya 32 tahun – negara dan rakyat kita ada di bawah cengkeraman diktatur militer Orde Baru. Sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa 32 tahun Orde Baru di bawah pimpinan Suharto dan konco-konconya, merupakan bagian dari sejarah Republik Indonesia yang paling gelap dan paling pengap selama ini ( bahkan, mungkin juga yang paling hitam sepanjang masa!)

Berlainan dengan periode antara 1945 sampai 1965 (selama 20 tahun) di bawah pimpinan Presiden Sukarno, yang merupakan periode yang bisa dibanggakan oleh bangsa Indonesia sebagai periode revolusi merebut kemerdekaan, dan perjuangan menentang neokolonialisme dan imperialisme (terutama AS), dan pemupukan solidaritas rakyat-rakyat Asia-Afrika, maka periode 1966-1998 (selama 32 tahun) di bawah pimpinan Jenderal Suharto adalah kebalikannya sama sekali.

Perbedaan sosok Bung Karno dan Suharto


Para pengamat politik yang berpandangan objektif dan jernih, dan para sejarawan yang bersikap jujur, tentunya melihat perbedaannya yang jauh dan besar sekali antara Republik Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno dan Republik Indonesia di bawah Orde Baru atau rejim militer Suharto. Dan demikian juga kiranya, semua orang yang mendambakan terciptanya masyarakat adil dan makmur dan persatuan bangsa tentunya melihat juga jauhnya perbedaan antara sosok yang agung dari Bung Karno sebagai bapak bangsa - dan pejuang besar serta pemimpin rakyat - dibandingkan dengan sosok yang rendah dan kerdil sekali dari Suharto.

Kalau kita renungkan dengan dalam-dalam, dan kita pelajari sejarah bangsa dengan baik-baik, maka nyatalah bahwa Bung Karno adalah satu-satunya pemimpin bangsa yang sampai sekarang ini paling besar jasanya kepada rakyat dan bangsa Indonesia, dan paling unggul dalam banyak hal, dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya. Ini kelihatan jelas sekali kalau kita kaji kembali – dengan baik-baik dan dengan fikiran yang jernih dan hati yang jujur – sejarah perjuangan rakyat kita sejak lahirnya Budi Utomo sampai dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 45. oleh Sukarno-Hatta.

Siapa saja yang mempelajari –secara objektif dan menyeluruh -- sejarah perjuangan bangsa sampai tercapainya kemerdekaan akan melihat dengan jelas bahwa Bung Karno-lah yang sejak mudanya sebagai mahasiswa sudah menunjukkan dengan nyata tekadnya untuk mempersatukan perjuangan bangsa. Dalam usia mudanya ini ia belajar politik dari perjuangan pemimpin besar Sarekat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme

Adalah sangat menarik sekali untuk dicatat bahwa dalam usia sekitar 25 tahun ia telah membuat (dalam tahun 1926) satu tulisan yang sangat panjang dan bagus sekali, yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Dari tulisan yang sangat panjang ini kelihatan dengan jelas sekali bahwa sejak usianya yang semuda itu Bung Karno sudah mempunyai gagasan-gagasan besar atau pandangan jauh tentang pentingnya persatuan perjuangan di antara
golongan nasionalis, golongan Islam dan golongan Marxis di Indonesia.
Tulisan yang merupakan dokumen politik yang bersejarah ini, yang aslinya dimuat dalam Suluh Indonesia Muda dalam tahun 1926, dapat dibaca sekarang oleh siapa saja dalam buku Dibawah Bendera Revolusi jilid pertama. Dalam tulisan panjang yang terdiri dari 23 halaman ini Bung Karno telah menuangkan prinsip-prinsip besar gagasannya mengenai persatuan bangsa. Dari tulisan yang dibuatnya dalam usia semuda itulah kita semua bisa melihat dengan jelas pendiriannya tentang pentingnya persatuan (atau kerjasama) antara nasionalisme, Islamisme dan Marxisme dalam perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme.
Bung Karno dan 17 Agustus 45 adalah satu

Oleh karena itu, bagi kita semua yang peduli akan sejarah bangsa, ketika kita sedang menyongsong perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, tidak bisa tidak ingatan kita pasti melayang juga kepada tokoh besar bangsa yang bernama Sukarno ini. Sebab, nama Sukarno tidak bisa dipisahkan dari 17 Agustus 1945. Atau, dalam kalimat yang lain, Sukarno dan 17 Agustus 1945 adalah satu. 17 Agustus adalah perwujudan dari hasil perjuangan yang puluhan tahun yang dilancarkan Bung Karno sebagai pimpinan gerakan nasional untuk kemerdekaan. Itulah sebabnya maka Bung Karno telah mendapat persetujuan bersama dari banyak golongan untuk (bersama-sama dengan Bung Hatta) memproklamasikan kemerdekaan, atas nama seluruh bangsa Indonesia.

Tetapi, kita semua yang mengikuti dengan teliti berbagai perkembangan sosial-politik di Indonesia akan melihat dengan gamblang bahwa sejak Suharto melakukan pengkhianatan besar-besaran terhadap Bung Karno, maka bangsa Indonesia kehilangan pemimpin besarnya, kehilangan guru bangsanya, kehilangan pemersatu bangsanya. Perkembangan selama 62 tahun Republik Indonesia menunjukkan dengan jelas sekali bahwa tidak ada pemimpin Indonesia yang mempunyai ketokohan seagung atau setinggi Bung Karno. Sekarang ini makin kentara dengan jelas, bahwa walaupun sudah dikhianati oleh Suharto, Bung Karno masih tetap dipandang oleh banyak orang sebagai tokoh terbesar bangsa, yang tidak ada tandingannya, sampai sekarang.

Seperti yang bisa kita amati bersama-sama, dengan mengkhianati Bung Karno, Suharto (dan konco-konconya, baik yang dalamnegeri maupun yang luarnegeri) telah menterlantarkan hasil-hasil besar revolusi, menghancurkan cita-cita para perintis kemerdekaan, memporak-porandakan jiwa revolusioner bangsa, merusak dan membusukkan Republik Indonesia. Dengan mengkhianati Bung Karno dan menghancurkan kekuatan pendukung politiknya (yang terdiri dari golongan kiri, dan terutama dari kalangan PKI), maka Suharto telah menyatukan diri dengan musuh bebuyutan rakyat Indonesia sejak lama, yaitu imperialisme.

Pengkhianatan Suharto terhadap Bung Karno

Oleh karena itu, kalau kita bicara tentang 17 Agustus, maka otomatis kita akan ingat kepada jasa-jasa besar Bung Karno. Dan ketika ingat kepada keagungan Bung Karno terpaksalah kita ingat juga kepada pengkhianatan Suharto (dan konco-konconya). Sebab, dengan mengkhianati Bung Karno dan menggulingkannya dari kekuasaan politiknya, Suharto telah membikin mandegnya revolusi bangsa Indonesia, serta membuat berbagai kerusakan berat atau penyakit besar dalam tubuh bangsa dan negara Republik Indonesia. Akibat kerusakan dan pembusukan dalam tubuh bangsa dan negara kita ini sampai sekarang masih kita warisi di banyak bidang.

Mungkin sekali, lima sampai sepuluh generasi bangsa kita yang akan datang akan mencatat bahwa pengkhianatan Suharto terhadap Bung Karno adalah peristiwa bersejarah yang akibat negatifnya sangat besar sekali bagi bangsa dan Republik Indonesia. Sebab, dengan pengkhianatan Suharto terhadap Bung Karno itu telah dibangun Orde Baru. Dan kita semua mengalami atau menyaksikan bahwa masa Orde Baru (1966-1998) adalah periode yang paling buruk yang dialami bangsa Indonesia. Kiranya, tidak salahlah kalau di kemudian hari akan ditulis oleh para sejarawan atau berbagai pakar bahwa periode Orde Baru adalah periode yang banyak menimbulkan pembusukan, kerusakan, dan kebobrokan, yang menyebabkan berbagai penderitaan dan penyiksaan bagi banyak sekali orang.

Karena, selama masa Orde Baru yang sangat panjang itu ratusan juta rakyat Indonesia “dikerangkeng” - dengan cara-cara yang bengis dan kejam sekali -- oleh golongan militer (terutama TNI-AD) yang jumlah total-jenderalnya tidak sampai satu juta orang. Para pendiri Orde Baru telah membikin terbunuhnya jutaan orang tidak bersalah, juga membikin terpenjarakannya ratusan ribu orang kiri dalam jangka waktu yang lama sekali. Kira-kira 20 juta orang anggota keluarga (dekat dan jauh) para korban Orde Baru telah dibikin menderita puluhan tahun oleh berbagai macam perlakuan, sampai sekarang.

Rabu, 23 Juli 2008

MEMBANGKITKAN KEMBALI BANGSA DENGAN JIWA BESAR BUNG KARNO
Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (10) Sekedar sumbangan dalam menyongsong Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei (2001)
Ada satu hal yang sudah selama puluhan tahun tidak menjadi pemikiran banyak orang, yaitu gejala bahwa Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei sudah tidak lagi diperingati secara khidmat atau selayaknya sebagai peristiwa yang penting dalam sejarah bangsa. Bagi mereka yang masih ingat kepada masa di bawah kepemimpinan Bung Karno, maka terasa sekalilah betapa besar bedanya antara peringatan Hari Kebangkitan Nasional sebelum 1965 dengan yang diselenggarakan selama Orde Baru. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan sampai 1965 selalu sarat dengan dikobarkannya semangat untuk menghormati jasa-jasa para perintis kemerdekaan, semangat untuk mempersatukan bangsa, semangat untuk bersama-sama meneruskan revolusi menuju masyarakat adil dan makmur. “Api” kebangkitan bangsa ini terasa menyala-nyala dalam kesempatan semacam itu.
Sayang sekali, bahwa justru “api” inilah yang selama Orde Baru menjadi terasa pudar, redup atau “loyo”. Maka, adalah menarik (dan penting) bagi kita semua untuk merenungkan mengapa timbul gejala-gejala semacam itu. Memang, selama Orde Baru ada juga berbagai peristiwa bersejarah (antara lain : Hari Pahlawan 10 November, peringatan 17 Agustus, hari Sumpah Pemuda, hari lahirnya Pancasila, Hari Kartini dll) yang diperingati. Namun, apakah peringatan-peringatan itu bisa menyentuh jiwa banyak orang sebagai pendidikan moral dan politik? Dan, apakah peringatan-peringatan itu diselenggarakan oleh orang-orang yang betul-betul menghayati pentingnya peristiwa-peristiwa bersejarah itu ? Atau, apakah peristiwa itu diadakan sekadar sebagai upacara ritual yang “mengambang”, yang tidak berbobot, yang dangkal, dan yang sama sekali tidak berisi pesan-pesan yang berarti?
Semua soal tersebut di atas patut kita telaah. Barangkali, para pakar ilmu sejarah, pakar ilmu politik, dan pakar lainnya, dapat memberikan sumbangan untuk meneliti mengapa selama 32 tahun Orde Baru masalah-masalah sejarah perjuangan bangsa, masalah revolusi 45, masalah pendidikan moral dan pendidikan politik terasa sebagai terabaikan atau terbelakang sekali.
BUNG KARNO ADALAH DILEMMA BAGI ORDE BARU
Kalau kita telusuri dengan cermat, maka akan nyatalah bahwa masa Orde Baru yang puluhan tahun adalah periode panjang yang “mandul” dalam hal pendidikan moral bangsa, “gersang” dalam hal pendidikan politik bangsa, atau “steril” dalam hal pendidikan tentang pengabdian kepada kepentingan rakyat. Dengan dalih mengutamakan pembangunan, maka pendidikan politik telah digencet selama puluhan tahun. Kasarnya, Orde Baru adalah suatu sitem politik yang takut kepada kesadaran politik rakyat. Yang pernah dilakukan oleh Orde Baru adalah indoktrinasi politik secara otoriter dan juga salah arah, yang justru mematikan kehidupan politik yang demokratis atau kerakyatan.
Dari sudut inilah kita bisa mengerti mengapa selama puluhan tahun Orde Baru telah berusaha menghilangkan peran Bung Karno dari sejarah bangsa. Dan di sini pulalah letak dilemma yang dihadapi oleh Orde Baru. Sebab, seandainya tokoh-tokoh Orde Baru mau berbicara tentang sejarah (yang benar) tentang perjuangan bangsa, maka terpaksalah mereka juga berbicara tentang peran dan ketokohan Bung Karno. Sedangkan, bagi Orde Baru, berbicara tentang ketokohan Bung Karno (yang sebenarnya!) adalah merugikan. Sebab, Bung Karno adalah musuh Orde Baru. Sejarah (yang sebenarnya) tentang latar belakang penggulingan kekuasaan Bung Karno oleh para pendiri Orde Baru/GOLKAR adalah sesuatu yang tidak bisa dibangga-banggakan oleh mereka, bahkan telah ditutup-tutupi, atau diputar-balikkan (tentang soal ini ada catatan tersendiri).
Oleh karena itu, seperti yang kita saksikan selama puluhan tahun, Orde Baru telah menempuh berbagai cara untuk “memperkecil” peran dan ketokohan Bung Karno dalam sejarah perjuangan bangsa, atau “merusak”-nya sama sekali. Antara lain dengan menyebarkan isyu tentang keterlibatannya dalam G30S, atau mengecam kedekatannya dengan PKI. Orde Baru juga menciptakan suasana sehingga para pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat tidak berbicara atau menyinggung nama Bung Karno dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat publik. Karena itu, selama puluhan tahun, banyak orang yang takut atau segan, atau tidak mau menyinggung nama Bung Karno, ketika mereka berbicara tentang sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda atau ketika bicara tentang revolusi 45.
Sekadar sebagai contoh : adalah suatu hal yang menarik, kalau di kemudian hari bisa diadakan penelitian tentang pidato-pidato Suharto selama 30 tahun menjabat sebagai presiden. Berapa kalikah selama itu ia pernah bicara tentang sejarah kebangkitan nasional, tentang perjuangan menentang imperialisme dan kolonialisme, tentang peran sejarah Bung Karno, tentang revolusi 45, tentang lahirnya Pancasila?
BUNG KARNO ADALAH PROMOTOR KEBANGKITAN BANGSA
Dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, mau tidak mau kita harus mengingat kembali perjalanan sejarah bangsa kita, yang dimulai dengan lahirnya gerakan nasionalis pertama Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, hampir seratus tahun yang lalu. Pergerakan nasional ini dipimpin oleh Dokter Soetomo di Jakarta. Dengan dorongan dilahirkannya Boedi Oetomo ini, kemudian lahirlah di Surabaya dalam tahun 1912 Sarekat Islam di bawah pimpinan Haji O.S. Tjokroaminoto bersama Haji Agus Salim dan Abdul Muis. Sarekat Islam kemudian pecah menjadi SI merah dan SI putih. Dalam tahun 1912 itu lahir pula satu gerakan politik yang amat penting, yaitu Indische Partij yang dimpimpin oleh Douwes Dekker (Dr. Setiabudhi), R.M. Suwardi Suryaningrat dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Tahun 1913, partai ini dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemimpin-pemimpinnya ditangkapi dan kemudian dibuang dalam pengasingan.
Sebagai buntut perkembangan ini, maka pada tahun 1914 lahir di Semarang satu organisasi berfaham kiri (komunis), yaitu Indische Sociaal Demokratische Vereeniging (ISDV) di bawah pimpinan Sneevliet dan Semaun. Dalam tahun 1920 (23 Mei) ISDV ini telah berobah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan pimpinan Semaun juga. Dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda, PKI telah mencetuskan pembrontakan di Banten, Jakarta dan Yogyakarta dalam tahun 1926, dan kemudian juga di Sumatera Barat dalam tahun 1927. Setelah pembrontakan itu ditindas oleh pemerintahan kolonial Belanda, maka ribuan pimpinan dan anggota PKI ditangkapi, dan kemudian dibuang dalam pengasingan di Tanah Merah (Digul).
Kebangkitan Nasional: Sebuah Catatan Sejarah
Hari ini 99 tahun yang lalu, Budi Utomo berdiri, sebuah perhimpunan yang mengawali tumbuhnya rasa nasionalisme. Walau masih terbatas di Pulau Jawa, Budi Utomo dianggap menjadi cikal bakal kebangkitan nasional bangsa Indonesia. Penggagasnya adalah Dr Wahidin Sudirohusodo. Bersama sejumlah mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen-Sekolah Kedokteran Bumiputra), ia mengajukan usul untuk membentuk perhimpunan demi tujuan mengusahakan persatuan kaum bumiputra yang sedapat mungkin bersifat umum. Walau digagas oleh orang-orang Jawa (penghuni Pulau Jawa) dan bersifat lebih kejawaan (Jawa, Sunda dan Madura), tetapi perhimpunan ini bersifat terbuka untuk semua orang pribumi, berbeda dengan perhimpunan pribumi sebelumnya yang bersifat eksklusif dan tertutup. Lalu sejumlah nama seperti Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh dan Soeleman dikaitkan dengan proses berdirinya perhimpunan Budi Utomo ini. Berdirinya Budi Utomo, ternyata langsung mendapat sambutan oleh sejumlah mahasiswa dan orang-orang pribumi lain. Dukungan mengalir dari beberapa sekolah pribumi seperti Sekolah Pertanian (landbouwschool) di Buitenzorg (sekarang Bogor), Sekolah Dokter Hewan (Veeartsenijschool) di tempat yang sama, menyusul Sekolah Kepala Negeri (Hoofdenschool) di Magelang dan Probolinggo, Sekolah Malam untuk Penduduk (Burgeravonschool) di Surabaya, Sekolah Pendidikan Guru Bumiputra di Bandung, Yogyakarta dan Probolinggo.Ada satu energi besar yang bisa menyatukan semua orang-orang pribumi ini. Mungkin karena perasaan senasib dan keinginan untuk memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda). Serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Sementara para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan—yang dalam bahasa kini dinilai bermental korup. Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sejarah berdirinya Budi Utomo kemudian tetap dikenang sebagai tonggak kebangkitan nasional. Dan tanggal 20 Mei—sebagai hari berdirinya Budi Utomo—dijadikan sebagai tanggal peringatan kebangkitan nasional hingga ini hari.Berbicara mengenai sejarah di Indonesia, sejumlah ahli berpendapat bahwa kebanyakan sejarah dibangun lebih berdasarkan mitos ketimbang fakta. Sehingga banyak orang yang mempertanyakan kembali kebenaran sejarah dan mengkritisi hal-hal yang dianggap tidak masuk akal dalam penulisan sejarah. Perbedaan esensial antara sejarah dan mitos kadang dikaburkan. Sebuah catatan yang penting sehubungan dengan sejarah dan mitos tersebut adalah bahwa sejarah semestinya dibangun berdasarkan bukti-bukti faktual. Sedangkan "mitos sejarah" berhubungan dengan pemberian makna atas suatu fakta sejarah dalam upaya memberikan semacam spirit atau pemahaman kepada masyarakat. Walau pada praktiknya seringkali mitos sejarah sarat dengan muatan politik hingga perlu dipertanyakan lagi, apakah ia benar-benar dibuat untuk kepentingan masyarakat atau hanya untuk kepentingan lain.Ironisnya, kini semangat kebangkitan nasional mulai luntur. Ada kecenderungan masyarakat untuk kembali pada sifat kedaerahannya. Korupsi masih bercokol, mutu pendidikan yang masih rendah, kemiskinan masih merajam, kehidupan politik yang tidak (belum) sehat dan sederet persoalan lain. Muncul pertanyaan di relung publik, apakah kebangkitan nasional masih memiliki "jiwa" dan diresapi oleh masyarakat?Latar Belakang Budi UtomoBudi Utomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan beberapa mahasiswa dan tokoh pemuda pribumi di STOVIA di Jakarta. Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa banyak perkumpulan pribumi yang hanya mementingkan golongan sendiri dan tertutup. Sementara Pemerintah Hindia Belanda jelas tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib kaum pribumi. Bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan.Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Dr Wahidin dan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif, tetapi terbuka untuk siapa saja, tanpa melihat kedudukan, kekayaan atau pendidikannya.Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura. Mereka mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, Manado, Borneo dan Ambon. Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula kebudayaannya. Dengan demikian, pada awalnya Budi Utomo memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja. Karena menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.Sekalipun para pemuda itu merasa tidak tahu banyak tentang nasib, keadaan, sejarah dan aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura, mereka tahu bahwa saat itu orang Manado mendapat gaji lebih banyak dan diperlakukan lebih baik daripada orang Jawa. Padahal dari sisi pendidikan, keduanya berjenjang sama. Itulah sebabnya pemuda Soetomo dan kawan-kawan tidak mengajak pemuda-pemuda di luar Jawa untuk bekerja sama.Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat pro perjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa.Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya, "tanah air" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah antara lain oleh Tjokroaminoto menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij, karena dalam arena politik, Budi Utomo memang belum bisa berbuat banyak.Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut, yaitu etika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi. Ini mengobarkan amarah rakyat pribumi (bangsa jajahan).Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera). Namun sejak itu, Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi. Walau kemudian tafsiran terhadap gerakan perhimpunan Budi Utomo ini menimbulkan berbagai versi yang berbeda, setidaknya bisa ditarik sebuah garis bahwa cikal bakal kebangkitan nasional hadir melalui perhimpunan Budi Utomo.Kebangkitan Nasional Jangan Hanya Seremonial Ada satu hal yang sudah selama puluhan tahun tidak menjadi pemikiran banyak orang, yaitu gejala bahwa Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei sudah tidak lagi diperingati secara khidmat atau selayaknya sebagai peristiwa yang penting dalam sejarah bangsa. Bagi mereka yang masih ingat kepada masa di bawah kepemimpinan Bung Karno, maka akan terasa betapa besar bedanya antara peringatan Hari Kebangkitan Nasional sebelum 1965 dengan pasca-Orde Lama. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan sampai 1965 selalu sarat dengan dikobarkannya semangat untuk menghormati jasa-jasa para perintis kemerdekaan, semangat untuk mempersatukan bangsa, semangat untuk bersama-sama meneruskan revolusi menuju masyarakat adil dan makmur. Hal ini juga diakui oleh Timbas Tarigan, Ketua Komisi E DPRD Sumut. Saat ini peringatan Kebangkitan Nasional hanya sekadar sebuah seremonial saja, sehingga arti pentingnya kebangkitan nasional terlupakan," terang Timbas Tarigan.Timbas Tarigan berharap agar momen kebangkitan nasional bukan hanya diperingati secara seremonial belaka, tetapi hendaknya dapat dijadikan sebagai momen introspeksi diri terhadap apa yang telah kita lakukan selama ini.Sependapat dengan Timbas Tarigan, Ikrimah Hamidi ST Ketua FPKS DPRD Kota Medan mengatakan bahwa momen kebangkitan nasional jangan hanya dijadikan sebagai kegiatan seremonial saja. Menurut Ikrimah Hamidi, hal ini karena negara Indonesia saat ini benar-benar berada dalam kondisi yang sangat kritis. "Lihat saja keadaanya, korupsi yang semakin parah, mutu pendidikan yang masih rendah, kemiskinan,… dan sederet persoalan lainnya," papar Ikrimah Hamidi.Lebih rinci Ikrimah mengungkapkan, saat ini masyarakat sudah banyak kehilangan identitas diri. Seolah-olah nasionalisme itu hanya diartikan sebagai kecintaan terhadap bangsa yang ditunjukkan dengan perayaan-perayaan dan acara seremonial saja. Tetapi sikap nyata untuk membangun bangsa dengan taat hukum, tidak korupsi, menjaga kebersihan, melindungi sesama, memberi toleransi agama dengan kepercayaan masing-masing, tidak diperhatikan sebagai hal mendasar dalam menyikapi nasionalisme.